Kamis, 17 Maret 2016

Eksperimen-Eksperimen dalam Aliran Psikologi Behaviorisme

1. Eksperimen Koneksionisme

Eksperimen Koneksionisme

Teori koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan Edward L. Thorndike (1874-1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890an. Eksperimen Thorndike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena belajar. 

Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkar berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seprti pengungkit, gerendel pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut.Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi. Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di depan pintu.. Mula-mula kucing itu mengeong, melompat, dan berlarian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada di depan pintu. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar itu. Eksperimen puzzle box ini terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).

Berdasarkan eksperimen diatas, Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology ofLearning”. Selain itu teori ini juga terkenal dengan sebutan “Trial and ErrorLearning”. Istilah ini menunjuk pada panjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975). Apabila kita perkatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong timbulnya fenomena belajar.

Pertama, keadaan kucing yang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu ia tak berusaha keluar dari sangkar tersebut. Bahkan barangkali ia hanya akan tidur saja dalam puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakkan gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan ini, hampir dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar. Kedua, tersedianya makanan di muka pintu box. Makanan ini merupakan efek positif atau memuaskan yang dapat dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut Law of Effect . Artinya, jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, hubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan /mengganggu efek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan antara stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah ynag mengilhami munculnya reinforcer dalam teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner.

Di samping Law of Effect, Thorndike juga mngemukakan dua macam hukum lainnya yang masing-masing disebut law of readiness dan law of exercise. Sekarang, kedua macam hukum ini sesungguhnya tidak begitu popular, namun cukup popular dan berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan. Law of Readiness (hukum kesiapsiagaan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaanconduction units (satuan perantaraan). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Jelas, hukum ini bersifat spekulatif, dan menurut Reber (1988) hanya bersifat historis.. Dalam hal ini perlu dicatat, bahwa ada kemiripan antara kecenderungan dalam conduction units tersebut dengan self regulation. Law of Exercise (hukun latihan) ialah generalisai atas law of use dan law of dis use. Menurut Hilgard & Bower (1975), jika perilaku atau perubahan hasil belajar sering dilatih atau digunakan, maka eksistensi perilkau tersebut akan semakin kuat (law of use). Sebaliknya jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau digunakan, maka ia akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of dis use).

2. Eksperimen Classical Conditioning

Eksperimen Classical Conditioning

Teori behavioristik sering didengar sebagai teori stimulus – respon (S-R) yang paling dikenal teori behavioristik pavlov (classic conditioning). Classing conditing (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasang dengan stimulus bersyarat secara  dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Titik toolak pavlov mengadakan penelitian adalah dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Percobaan pavlov menggunakan binatang anjing  karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang. Anjing itu diikat dan dioperasi pada bagian rahangnya sedemikian rupa, sehingga tiap-tiap air liur yang keluar dapat ditampung dan diukur jumlahnya. Pavlov kemudian menekan sebuah tombol dan keluarlah semangkuk makanan di hadapan anjing percobaan. Sebagai reaksi atas munculnya makanan, anjing itu mengeluarkan air liur yang dapat terlihat jelas pada alat pengukur. Makanan yang keluar disebut sebagai perangsang tak berkondisi (unconditioned stimulus) dan air liur yang keluar setelah anjiing melihat makanan disebut refleks tak berkondisi (unconditioned reflex), karena setiap anjing akan melakukan refleks yang sama (mengeluarkan air liur) kalau melihat rangsang yang sama pula (makanan).

Kemudian dalam percobaan selanjutnya Pavlov membunyikan bel setiap kali ia hendak mengeluarkan makanan. Dengan demikian anjing akan mendengar bel dahulu sebelum ia melihat makanan muncul di depannya. Percobaan ini dilakukan berkali-kali dan selama itu keluarnya air liur diamati terus. Mula-mula air liur hanya keluar setelah anjing melihat makanan (refleks tak berkondisi), tetapi lama-kelamaan air liur sudah keluar pada waktu anjing baru mendengar bel. Keluarnya air liur setelah anjing mendengar bel disebut sebagai refleks berkondisi (conditioned reflects) karena refleks itu merupakan hasil latihan yang terus-menerus dan hanya anjing yang sudah mendapat latihan itu saja yang dapat melakukannya. Bunyi bel jadinya rangsang berkondisi (conditioned reflects).

Kalau latihan itu diteruskan, maka pada suatu waktu keluarnya air liur setelah anjing mendengar bunyi bel akan tetap terjadi walaupun tidak ada lagi makanan yang mengikuti bunyi bel itu. Dengan perkataan lain, refleks berkondisi akan bertahan walaupun rangsang tak berkondisi tidak ada lagi. Pada tingkat yang lebih lanjut, bunyi bel didahului oleh sebuah lampu yang menyala, maka lama-kelamaan air liur sudah keluar setelah anjing melihat nyala lampu walaupun ia tidak mendengar bel atau melihat makanan sesudahnya. Demikianlah satu rangsang berkondisi dapat dihubungkan dengan rangsang berkondisi lainnya sehingga binatang percobaan tetap dapat mempertahankan refleks berkondisi walaupun rangsang tak berkondisi tidak lagi dipertahankan. Tentu saja tidak adanya rangsang tak berkondisi hanya bisa dilakukan sampai pada taraf tertentu, karena terlalu lama tidak adarangsang tak berkondisi, binatang percobaan itu tidak akan mendapat imbalan (reward) atas refleks yang sudah dilakukannya dan karena itu refleks itu makin lama akan semakin menghilang dan terjadilah ekstinksi atau proses penghapusan refleks (extinction). Kesimpulan yang didapat dari percobaan ini adalah bahwa tingkah laku sebenarnya tidak lain daripada rangkaian refleks berkondisi, yaitu refleks-refleks yang terjadi setelah adanya proses kondisioning (conditioning process) di mana refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsang-rangsang tak berkondisi lama-kelamaan dihubungkan dengan rangsang berkondisi.

Untuk penerapannya pada manusia adalah bunyi suara lagu penjual es krim walls yang berkeliling dari rumah ke rumah, awalnya mungkin suara itu asing, tetepi setelah si penjual es krim sering lewat maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari. Dengan membunyikan nada-nada yang khas dan berbeda sehingga manusia dapat membedakan mana bunyi yang satu dengan bunyi yang lainnya. Selain itu dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. 

3. Eksperimen Operant Conditioning

Eksperimen Operant Conditioning

Eksperimen ini dilakukan oleh B.F. Skinner. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh Behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrtol melalui proses operant conditioning. Dimana seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaanya jauh lebih fleksibel daripada classical conditioning. Gaya menegajar guru dilakukan dengan dengan beberapa pengantar dan guru secara searah mengontrol untuk melakukan latihan dan pengulangan. Manajemen kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi pengahargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant condtioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan. 
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut:
Dalam laboraturium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam kotak yang disebut ”Skinner Box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu yang dapat diatur nyalanya, dan lantai yang dapat dialiri listrik. Karena dorongan lapar tikus berusaha keluar untuk mencari makanan. Selama tikus bergerak kesana-kemari untuk keluar dari box yang tidak ada makanan di dalamnya, tidak sengaja ia menekan tombol, makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping. Kemudian suatu saat setelah shapping tersebut terbentuk dengan baik, pola pemberian makanan diubah. Tikus hanya diberi makanan sesuai dengan kehendak si peneliti. Dan apabila tikus berusaha mencari makanan pada kotak makanan namunn tidak terapat makanan di dalamnya, maka lantai akan dialiri listrik, dan hal ininlah yang disebut dengan punishment. Dan hal itu terius terjadi secara berulang-ulang sehingga si tikus terbaiasa tidak akan membuka kotak makanan apabila belum terdapat makanan di dalamnya. Dan si tikus juga sudah terbiasa segera memakan makanan yang ada di dalam kotak makanan apabila sudah terdapat makanan di dalamnya meskipun ia baru saja mendapat makanan juga.

Berdasarkan percobaannya pada tiikus dan pada burung merpati, Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu penguatan positif berupa hadiah dan  penguatan negatif berupa hadiah atau penghargaan.

4. Eksperimen Condition of Learning

Eksperimen Condition of Learning

Eksperimen ini dilakukan oleh Robert Gagne. Eksperimen ini tergolong eksperimen yang bisa dibilang paling modern dari eksperimen-eksperimen behavior yang lain, krena eksperimen ini mmenggunakan teknologi canggih dalam  penerapannya. Gagne melakukan percobaannya pada pilot AU di Amerika Serikat. Ia membuat sebuah permodelan atau simulasi ruangan yang menyerupai kokpit pilot pesawat. Dan kemudian ia mengkondisikan ruangan itu agar semirip mungkin baik saat akan terbang, lepas landas, terbang di udara, dan juga saat mendarat.

5. Eksperimen Bobo Doll

Eksperimen Bobo Doll

Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak-anak meniru seperti perilkau agresif dari orang dewasa disekitarnya. Albert Bandura adalah seorang tokoh teori belajar sosial yang menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan ”permodelan”. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan spek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar.
Eksperimen permodelan Bandura:
Kelompok A = Disuruh memperhatikn sekumpulan orang dewasa memukul, menimbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan para orang dewasa tadi dan malahan lebih agresif.
Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra dengan patung Bobo besar.
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A
Kesimpulan = Tingkah laku anak-anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil dari penguatan.
Hasil keseluruhan eksperimen :
Kelompok A menunjukkan tingkah laku yang lebih agresif dari orang dewasa sedangkan kelompok B tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar